Menolak Mati dalam Kebodohan
"Abi tidak punya harta yang berlimpah, jangan berharap warisan berupa harta, tetapi abi titipkan ilmu sebagai bekal mengarungi kehidupan."
Pesan sederhana ini datang dari
seorang bapak kepada anaknya, mungkin bagi sebagian orang terdengar biasa saja. Namun bagi saya, kalimat
itu menjelma alarm hidup yang terus bergetar, bahkan setelah kepergiannya.
Kata-kata yang awalnya hanya terucap di ruang tamu itu, kini menjadi gagasan
besar tentang makna hidup dan warisan sejati yang melampaui batas waktu.
Kita hidup di komunal masyarakat
yang sering menjadikan harta dan kemapanan sebagai ukuran kesuksesan, warisan
ilmu sering dipandang sebelah mata jika tidak ingin dikatakan tidak sama sekali.
Padahal, jika kita mau merenung sesaat saja, sejarah membuktikan bahwa
peradaban besar selalu dikontruksi di atas fondasi ilmu pengetahuan. Ilmu yang tidak
sekadar berfungsi sebagai alat untuk mencapai kemapanan hidup, tetapi sebagai
ruh yang menggerakan manusia agar terus berpikir, bertanya, dan melahirkan
solusi bagi zaman yang dihadapi.
Tuhan telah membekali manusia
dengan potensi yang nyaris tanpa batas. Akal untuk berpikir, mata dan telinga
sebagai pintu masuk ilmu, serta lisan untuk bertanya dan mendialogkan
pemahaman. Namun, potensi ini sering terkubur oleh penyakit lama manusia: merasa
cukup tahu, puas dengan kepingan ilmu yang dimiliki, lalu berhenti belajar.
Inilah awal dari kebodohan yang sistematis, saat manusia merasa cukup cerdas
sehingga enggan terus mencari.
Ironisnya, fenomena ini tidak
hanya terjadi di kalangan individu, tetapi juga melekat dalam cara berpikir
kolektif umat. Kita, khususnya umat Islam, sering terjebak dalam romantisme
sejarah kejayaan ummat muslim di masa lalu. Kita tahu dan hafal nama-nama besar
seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Al-Khawarizmi, hingga Al-Ghazali. Sayangnya,
kebanggaan itu justru membuat kita terbuai, seolah kejayaan masa lalu cukup
menjadi alasan untuk mengklaim kemuliaan saat ini.
Padahal, kejayaan tidak diwarisi.
Ia diperjuangkan kembali di setiap zaman. Masa depan tidak pernah dibangun di
atas nostalgia, melainkan di atas kerja keras intelektual dan keberanian
menghadapi kenyataan zaman. Inilah yang disadari betul oleh bapak saya semasa
hidup. Bahwa warisan terbaik bukan harta, tetapi ilmu yang terus hidup, tumbuh,
dan berbuah manfaat. Ilmu yang kelak menjadi amal jariyah yang tak terputus,
sekalipun jasad telah berkalang tanah.
Sayangnya, kebiasaan berhenti
belajar ini telah menjelma menjadi kebudayaan. Pendidikan yang semestinya
menjadi mata air harapan seolah hadir dengan penuh tanda tanya kebingungan,
tidak sedikit yang menjadikan ijazah sebagai tujuan akhir, bukan menjadikan
belajar sebagai nafas kehidupan. Padahal, esensi manusia terletak pada kemampuannya terus belajar dan
berpikir. Semakin ia berpikir, semakin
ia sadar bahwa ilmu itu luas tak berbatas. Semakin ia belajar, semakin ia
mengerti bahwa kebodohan sejati adalah merasa tahu segalanya.
Pesan bapak saya kembali menggema
ketika melihat realitas sosial hari ini. Ketimpangan ekonomi, krisis identitas,
rendahnya daya saing bangsa, hingga carut-marutnya tata kelola negeri ini,
berakar pada satu hal mendasar yaitu rendahnya literasi kritis. Kita lebih suka
memberi asupan diri kita dengan informasi instan daripada mendalami ilmu dengan
terus belajar menumbuhkan kuriositas. Lebih gemar menyebar hoaks daripada mencari
keakuratan informasi terlebih dahulu . Kita kehilangan tradisi bertanya,
berdialog, dan berdebat secara sehat, bukan tanpa sebab mungkin kita miskin tuntunan
untuk dijadikan panutan.
Di titik ini, pesan bapak saya
menemukan keterkaitan yang semakin erat. Belajar bukan sekadar terbatas di
ruang kelas, melainkan jalan hidup seseorang yang harus dipeluk kuat dan erat
sampai akhir hayat. Menjadi pembelajar sepanjang hayat bukanlah sekadar
pilihan, melainkan keniscayaan bagi siapa saja yang ingin merdeka dari ketertinggalan
dan keterbelakangan.
Pada akhirnya, kita masih akan dihadapkan
pada dua pilihan yang dilematis betah berada dalam kebodohan yang melanggengkan
segala macam ketimpangan, atau menjadi revolusioner dengan memilih sikap
radikal melepas seluruh atribut kemalasan, lalu menyongsong hari esok dengan kesadaran
untuk semangat belajar tanpa berujung.
Konsekuensi dari pilihan pertama
mengantarkan kita menjadi generasi yang mudah terkooptasi dan dikendalikan, mengikis
daya kritis, dan akhirnya mati dalam kebodohan. Pilihan kedua menjadikan kita
manusia berdaulat, manusia merdeka, merdeka berpikir, merdeka bersuara, merdeka
bertanya, dan merdeka mencari ilmu kapanpun dan di mana saja.
Sekali lagi, bapak saya memang
tidak mewariskan gelimang harta. Tapi ia telah meninggalkan sesuatu yang jauh lebih bernilai; menanamkan kesadaran
bahwa ilmu adalah bekal terbaik mengarungi kehidupan. Dan sampai saat ini saya
tetap percaya, pesan ini bukan hanya milik saya seorang selaku anak biologisnya,
tetapi milik kita semua, siapa pun yang terpanggil dan masih peduli pada masa
depan bangsa dan umat manusia.
Ingatlah, di hadapan Tuhan,
tidaklah sama antara mereka yang mengetahui dan mereka yang tidak mengetahui. Pada
masanya nanti, sejarah hanya akan mencatat dua jenis manusia: mereka yang
menulis sejarah dengan ilmunya, dan mereka yang hanya menjadi catatan kaki
sebagai korban kebodohan yang dibiarkannya sendiri.
Penulis : Fata Azmi
Belum ada Komentar untuk "Menolak Mati dalam Kebodohan"
Posting Komentar