Bahagia Tanpamu

 


Di penghujung pertemuan itu, aku masih ingat jelas bagaimana kamu berkata, "Semoga kebahagiaan selalu bersamamu, meski kini kita tidak lagi bersama." Kata-kata itu terdengar begitu ringan di bibirmu, namun menancap tajam di hatiku. Seolah perasaan hanyalah sebuah permainan sederhana. Jujur, aku tidak siap menjadi abu hancur oleh ketiadaanmu di sisiku. Segala kisah yang pernah kita jalani, apakah hanya akan berakhir dengan satu kata: selamat tinggal?

Mengenalmu adalah peristiwa monumental dalam hidupku. Gaya bicaramu, tutur katamu, mampu mengubah suasana hati. Apa yang semula muram perlahan menjadi memesona. Hadirmu menciptakan keteduhan, seperti hujan yang datang di tengah kemarau panjang. Dahulu, aku percaya kebahagiaan itu ada bersamamu, melewati segalanya, menghalau sepi dengan janji yang kita pegang erat.

Aku merindukan masa-masa itu. Ingin rasanya waktu berjalan lebih lambat, agar aku bisa lebih lama menikmati kebersamaan kita berbagi tawa, senyuman, dan cerita yang saling mendengarkan.

Tapi kini, semua itu hanya tinggal kenangan. Aku sering berharap bisa bertemu kembali, bukan untuk mengulang, tapi untuk memulai dari awal, menciptakan cerita yang lebih indah. Sayangnya, itu semua hanyalah fatamorgana. Yang dahulu pernah ada, kini telah berlalu. Langkah kita yang dulu serempak kini tak lagi seirama. Hari-hariku gelap, seperti langit yang ditutupi awan pekat. Bahkan sinar matahari terasa dingin, membekukan hati setelah kepergianmu.

Di saat terakhir itu, sebelum kata selamat tinggal terucap, aku merasa ada sesuatu yang kamu sembunyikan. Kabar burung tentang kepergianmu karena menemukan pelabuhan hati lain tak henti-henti menghantui pikiranku.

Benarkah? Aku enggan percaya. Kamu, seseorang yang pernah kuanggap begitu teguh, kini memilih mengkhianati janji daripada setia padanya. Namun, ternyata kabar itu bukan sekadar bisik angin. Pengkhianatan itu nyata, dan luka yang ditinggalkannya begitu dalam. Cinta yang selama ini kujaga ternyata tak kebal dari luka—meskipun aku tahu, luka adalah bagian dari cinta.

Namun, luka karena pengkhianatan ini mematikan. Rasanya seperti kehilangan seluruh indera: lidah tak mampu berucap, jantung seakan berhenti berdetak, dan air mataku tak henti mengalir. Aku belum bisa percaya bahwa ada khianat di antara kita.

Meski begitu, aku masih berusaha mempertahankan sesuatu yang jelas-jelas tak lagi kamu inginkan. Aku tak tahu, apakah aku harus terus mencari jawabannya sendiri, atau cukup menerima kenyataan bahwa sikapmu telah menegaskan segalanya.

Yang tersisa hanyalah satu pertanyaan yang terus menghantui: apakah aku masih pantas merindukanmu, saat kamu tak lagi menginginkanku?


Belum ada Komentar untuk "Bahagia Tanpamu"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel