Ironi Kebhinekaan
Sebagai guru kelas 6, saya mengajar
mata pelajaran Pendidikan Pancasila untuk menanamkan nilai-nilai pancasila
kepada peserta didik, terutama bagaimana menerapkan sila pertama, Ketuhanan
Yang Maha Esa, dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satu nilai utama yang
terkandung dalam sila ini adalah menghormati dan menaati ajaran agama yang
dianut, serta menghargai keberagaman dalam kehidupan beragama di Indonesia. Ini
mencakup menghormati hak setiap individu untuk menjalankan ibadah sesuai dengan
agama dan kepercayaannya tanpa ada tekanan atau paksaan dari pihak lain.
Namun, tugas ini bukanlah hal
yang mudah ketika realitas di lapangan seringkali bertentangan dengan
nilai-nilai yang diajarkan di dalam kelas. Baru-baru ini,Insiden yang terjadi
di tengah persiapan Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) 2024 memaksa
saya untuk mempertanyakan, seberapa dalam nilai-nilai Pancasila benar-benar
diterapkan oleh institusi yang seharusnya menjadi panutan? Sejumlah anggota Paskibraka
diinstruksikan untuk melepas hijab demi alasan keseragaman. Kepala Badan
Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Yudian Wahyudi, menyatakan bahwa langkah
ini diambil untuk mempromosikan keseragaman dalam upacara kenegaraan seperti
yang dikutip dalam antaranews.com.
Ironi dari kejadian ini begitu
kentara. Bagaimana kita bisa mengajarkan anak-anak untuk menghormati
keberagaman dan hak individu, jika institusi negara malah menunjukkan contoh
yang sebaliknya? Dalam konteks ini, saya merasa penting untuk merefleksikan kembali
apa yang terjadi ketika prinsip yang seharusnya menjadi fondasi kehidupan
bernegara justru dilanggar oleh pihak yang seharusnya menjadi pelindungnya.
Mengajarkan sila pertama
Pancasila berarti mengajarkan siswa tentang pentingnya menghormati keyakinan
orang lain. Namun, ketika sebuah keputusan institusi pemerintah yang nyata
memaksakan keseragaman dengan mengorbankan keberagaman, bagaimana kita dapat
menjelaskan ini kepada peserta didik? Apakah benar bahwa untuk bersatu, kita
harus seragam dalam segala hal? Bukankah kebhinekaan adalah kekuatan kita?
Kejadian seperti ini bukan hanya meruntuhkan nilai-nilai yang diajarkan di
kelas, tetapi juga mengundang badai kritik yang seharusnya tidak perlu terjadi.
Sebagai seorang guru, saya
dihadapkan pada pertanyaan sulit: "Pak, memangnya untuk mengibarkan
bendera harus melepas kerudung? Lalu, apa gunanya kita menutup aurat seperti
yang diajarkan agama?" Pertanyaan ini, yang mungkin terdengar sederhana, tetapi
seperti kilat siang bolong, bagaimana kebingungan tentang bagaimana nilai-nilai
Pancasila diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Mungkin tulisan ini tidak akan
berdampak signifikan. Namun, sebagai seorang pendidik, saya merasa bertanggung
jawab untuk terus menggugah kesadaran tentang pentingnya konsistensi antara apa
yang diajarkan dan apa yang dilakukan. Jika tidak, kita hanya akan menjadi
saksi bisu atas terkikisnya nilai-nilai yang selama ini kita junjung tinggi.
Saatnya kita kembali merenungkan, apakah keseragaman benar-benar harus berarti menanggalkan identitas diri apalagi keyakinan dan kepercayaan yang sudah lama dianut? Atau mungkin, dalam keberagamanlah kita menemukan kekuatan sejati bangsa ini. Jika kita tidak berhati-hati, kejadian seperti ini akan menjadi preseden yang berbahaya bagi masa depan kebhinekaan Indonesia.
Belum ada Komentar untuk "Ironi Kebhinekaan"
Posting Komentar