1.4.j. Koneksi Antar Materi - Modul 1.4 Calon Guru Penggerak

Perkenalkan, saya Fata Azmi, CGP Angkatan 10. Pada kesempatan kali ini, saya akan menguraikan hubungan antara materi dari modul 1.1 tentang filosofi pemikiran Ki Hajar Dewantara, modul 1.2 tentang nilai dan peran guru penggerak, modul 1.3 tentang visi guru penggerak, dan modul 1.4 tentang budaya positif. Narasi tentang koneksi antar materi ini akan saya paparkan dengan menggunakan pertanyaan pemantik yang dicetak tebal sebagai panduan. Mari simak pemaparannya dengan seksama.

Sejauh mana pemahaman Anda tentang konsep-konsep inti yang telah Anda pelajari di modul ini, yaitu: disiplin positif, teori kontrol,  teori motivasi, hukuman dan penghargaan, posisi kontrol guru, kebutuhan dasar manusia, keyakinan kelas, dan segitiga restitusi. Adakah hal-hal yang menarik untuk Anda dan di luar dugaan?

Dalam budaya kita, 'disiplin' sering kali dianggap sebagai tindakan yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain untuk memastikan kepatuhan, yang sering dihubungkan dengan perasaan tidak nyaman. Padahal, disiplin sebenarnya adalah sesuatu yang harus ditanamkan dalam diri setiap individu.

Dalam mempelajari modul ini, saya menemukan banyak informasi baru yang membuka mata saya mengenai nilai-nilai penting dalam mendidik anak untuk menciptakan budaya positif. Misalnya, dalam pembahasan tentang posisi kontrol guru, berdasarkan teori Kontrol Dr. William Glasser, Gossen mengidentifikasi lima posisi kontrol yang digunakan oleh guru, orang tua, atau atasan dalam mengelola kontrol. Posisi-posisi tersebut adalah Penghukum, Pembuat Rasa Bersalah, Teman, Pemantau, dan Manajer. Sebelumnya, saya lebih sering berperan sebagai Penghukum dan Pembuat Rasa Bersalah. Ini jelas bertentangan dengan filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara yang menekankan pentingnya memanusiakan manusia dan membimbing anak sesuai dengan zamannya. Dalam menangani siswa, kita sebagai guru seharusnya mengambil peran sebagai Manajer, dengan langkah-langkah dan tahapan yang jelas dalam menangani kesalahan mereka.

Satu lagi hal penting yang saya pelajari dari modul 1.4 adalah tentang keyakinan kelas. Selama ini, saya hanya berpikir dalam kerangka aturan kelas. Namun, ternyata keyakinan kelas berbeda; ini adalah kesepakatan tak tertulis yang dipahami dan dihormati oleh seluruh anggota kelas, tanpa perlu dorongan eksternal, dan muncul dari dalam diri siswa sendiri. Dalam materi Segitiga Restitusi, kita diajarkan cara menangani masalah di sekolah melalui tahapan stabilisasi identitas, validasi tindakan yang salah, dan peninjauan keyakinan. Sebelumnya, saya cenderung langsung memberikan hukuman tanpa mengikuti tahapan tersebut.

Pemahaman yang saya dapatkan dari modul 1.4 konsisten dengan materi-materi sebelumnya. Untuk mewujudkan visi Ki Hajar Dewantara, kita dapat menerapkan prinsip-prinsip dalam budaya positif. Nilai dan peran guru penggerak bisa diwujudkan dengan dukungan penerapan budaya positif di sekolah.

Perubahan apa yang terjadi pada cara berpikir Anda dalam menciptakan budaya positif di kelas maupun sekolah Anda setelah mempelajari modul ini?

Setelah mempelajari modul budaya positif, kita menyadari pentingnya memperbaiki pendekatan dalam mendidik peserta didik di sekolah. Setiap hari mungkin ada peserta didik yang melakukan kesalahan, dan sebagai guru, kita harus melihat kesalahan tersebut sebagai peluang untuk belajar dan berkembang. Kesalahan peserta didik bisa diperbaiki dengan penerapan budaya positif, yang dimulai dengan memahami kebutuhan dasar mereka. Dengan demikian, kita dapat menemukan akar masalah yang menyebabkan peserta didik melakukan kesalahan dan memberikan intervensi yang lebih tepat.

Penerapan budaya positif harus segera dilakukan untuk mencapai tujuan pendidikan secara lebih efektif. Budaya ini dimulai dengan menciptakan kebiasaan positif, seperti disiplin diri, tanggung jawab, kerja sama, dan rasa hormat antara peserta didik dan guru. Seluruh warga sekolah harus memiliki kesadaran yang sama tentang pentingnya budaya positif, yang bisa dicapai melalui pelatihan, workshop, dan diskusi kelompok. Partisipasi aktif dari semua pihak, termasuk guru, peserta didik, staf, dan orang tua, sangat penting untuk keberhasilan penerapan budaya positif.

Budaya positif membawa banyak manfaat, seperti menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan mendukung, meningkatkan prestasi akademik, dan kesejahteraan emosional peserta didik. Selain itu, budaya positif dapat mengurangi masalah perilaku dan meningkatkan rasa tanggung jawab individu. Dengan demikian, sekolah tidak hanya menjadi tempat untuk belajar, tetapi juga tempat di mana peserta didik merasa dihargai dan didukung, sehingga mereka dapat mencapai potensi penuh mereka.

Pengalaman seperti apakah yang pernah Anda alami terkait penerapan konsep-konsep inti dalam modul Budaya Positif baik di lingkup kelas maupun sekolah Anda?

Saya ingin menceritakan pengalaman saya dalam menerapkan budaya positif di sekolah, terutama dalam konteks menyelesaikan masalah yang sering kali berbenturan dengan aturan sekolah. Saya percaya bahwa penerapan budaya positif dapat mendorong penyelesaian masalah secara konstruktif. Namun, dalam kenyataannya, sering kali aturan sekolah yang ada tidak mendukung penerapan konsep segitiga restitusi pada kasus-kasus tertentu. 

Oleh karena itu, saya berusaha menyadarkan seluruh komponen warga sekolah untuk bertindak preventif dalam menekan masalah yang timbul. Saya berkeinginan untuk memposisikan diri sebagai seorang manajer yang mampu mempengaruhi perubahan budaya di sekolah. Sayangnya, kebiasaan dan budaya di sekolah saat ini masih sangat bergantung pada hukuman sebagai tindakan paling efektif untuk mendisiplinkan peserta didik. Saya yakin bahwa dengan upaya yang konsisten dan kolaboratif, kita bisa menciptakan lingkungan sekolah yang lebih positif dan mendukung perkembangan peserta didik secara holistik.

Bagaimanakah perasaan Anda ketika mengalami hal-hal tersebut?

Dalam pengalaman saya dalam mendisiplinkan peserta didik, saya sebelumnya cenderung mengadopsi peran sebagai penghukum yang mengontrol. Namun, saya kini memiliki keinginan untuk berubah menjadi seorang manajer, berusaha memperbaiki kesalahan masa lalu. Saya merasa bahagia ketika berhasil mendisiplinkan peserta didik dengan cara yang membangun, sehingga mereka internalize nilai-nilai budaya positif bukan hanya karena adanya tekanan dari luar. Saya merasa tertantang untuk menerapkan peran sebagai pendidik-manajer, terutama dalam menjelaskan konsep segitiga restitusi dalam penyelesaian kasus-kasus ketidakdisiplinan. Saya percaya bahwa dengan memberikan tanggung jawab kepada peserta didik untuk memperbaiki perilaku mereka sendiri, kita dapat membantu mereka menemukan solusi atas masalah yang mereka hadapi.

Menurut Anda, terkait pengalaman dalam penerapan konsep-konsep tersebut, hal apa sajakah yang sudah baik? Adakah yang perlu diperbaiki?

Menurut saya, sekolah kami telah menerapkan budaya positif melalui berbagai kegiatan seperti pembiasaan, sholat berjamaah, dan kolaborasi lainnya yang membentuk karakter positif. Namun, hal yang perlu diperkuat adalah sosialisasi nilai-nilai kebajikan yang harus dimiliki setiap peserta didik serta pemahaman yang lebih baik tentang perbedaan antara keyakinan kelas dan aturan kelas, karena masih banyak guru dan peserta didik yang belum memahami hal ini.

Selain itu, hal yang perlu diperbaiki adalah perubahan dari posisi kontrol yang selama ini cenderung menghukum dan menimbulkan rasa bersalah, menuju posisi sebagai manajer yang bertujuan menyelesaikan masalah dengan pendekatan yang lebih baik pada peserta didik.

Sebelum mempelajari modul ini, ketika berinteraksi dengan murid, berdasarkan 5 posisi kontrol, posisi manakah yang paling sering Anda pakai, dan bagaimana perasaan Anda saat itu? Setelah mempelajari modul ini,  posisi apa yang Anda pakai, dan bagaimana perasaan Anda sekarang? Apa perbedaannya? 

Sebelum saya belajar tentang teori posisi kontrol, pendekatan yang sering saya gunakan saat berinteraksi dengan peserta didik adalah sebagai seorang penghukum dan pembuat rasa bersalah. Saya merasa bahwa ini adalah cara yang tepat dan terbaik, karena selama ini, baik saat saya masih sekolah maupun ketika baru memulai karier sebagai guru, pendekatan ini sudah menjadi kebiasaan yang diterima sebagai bagian dari budaya di lingkungan saya. Meskipun cara ini kadang-kadang berhasil, namun seringkali juga gagal, bahkan dalam beberapa kasus, masalah yang sama sering terulang lagi, menunjukkan bahwa pendekatan tersebut hanya memberikan perubahan yang bersifat sementara.

Namun, setelah saya mempelajari teori posisi kontrol, saya mulai menggunakan pendekatan yang berbeda, yaitu sebagai seorang pemantau dan manajer. Perubahan ini membuat saya merasa lebih tenang, dan saya melihat bahwa peserta didik lebih menerima dan menyadari kesalahan yang mereka lakukan. Mereka mulai merasa tergerak untuk berubah dari dalam diri mereka sendiri, bukan karena paksaan atau tekanan dari luar. Perbedaan yang paling mencolok antara kedua pendekatan ini adalah pada hasil yang dicapai: ketika kita berperan sebagai penghukum, perubahan yang terjadi pada peserta didik cenderung bersifat sementara, namun jika kita berperan sebagai manajer, perubahan yang terjadi lebih berkelanjutan dan berasal dari motivasi internal peserta didik sendiri.

Sebelum mempelajari modul ini, pernahkah Anda menerapkan segitiga restitusi ketika menghadapi permasalahan murid Anda? Jika iya, tahap mana yang Anda praktekkan dan bagaimana Anda mempraktekkannya?

Sebelumnya, saya telah mencoba menerapkan konsep segitiga restitusi, namun tidak dengan urutan atau cara yang tepat. Saya hanya memulainya dengan mengakui kesalahan yang dilakukan oleh peserta didik, namun kemudian melanjutkannya dengan memberikan hukuman, sehingga dua langkah segitiga restitusi lainnya tidak dilakukan.

Selain konsep-konsep yang disampaikan dalam modul ini, adakah hal-hal lain yang menurut Anda penting untuk dipelajari dalam proses menciptakan budaya positif baik di lingkungan kelas maupun sekolah?

Selain filsafat Ki Hajar Dewantara, budaya positif juga erat kaitannya dengan nilai dan peran guru penggerak serta visi guru penggerak. Peran guru penggerak sebagai pemimpin pembelajaran dan peneguh kepemimpinan siswa sangatlah penting. Sebagai pemimpin pembelajaran, guru penggerak menciptakan lingkungan yang menyenangkan bagi siswa, dengan keyakinan bahwa atmosfer kelas yang positif akan membantu siswa belajar dengan lebih baik, tidak hanya terpaku pada aturan kelas.

Keyakinan kelas ini dibangun oleh seluruh anggota kelas dan disepakati bersama. Siswa merasa lebih nyaman dengan pendekatan ini daripada aturan kelas yang hanya berfokus pada hukuman. Selain keyakinan kelas, konsep restitusi juga dapat membantu mendidik siswa untuk menjadi mandiri dan bertanggung jawab atas tindakan mereka, sesuai dengan nilai-nilai sekolah yang diyakini mereka. Dengan menciptakan budaya positif di mana guru bertindak sebagai manajer dalam mengelola hubungan dengan siswa, siswa dapat belajar untuk menjadi manajer bagi diri mereka sendiri.

Pergeseran dari tindakan sebagai penghukum menjadi manajer perlu segera dilakukan. Dengan mengurangi pendekatan penghukuman, siswa akan merasa lebih nyaman dalam proses pembelajaran. Budaya positif juga akan lebih mudah diimplementasikan jika mendapat dukungan dari seluruh anggota sekolah.

Demikianlah penjelasan tentang keterkaitan antara materi dalam Modul 1.4 tentang Budaya Positif. Selanjutnya, kita akan merancang rencana aksi yang lebih efektif, konkret, dan realistis untuk mewujudkan budaya positif di sekolah, yang akan kita jelaskan dalam tabel rencana aksi berikut.

 

Rancangan Tindakan Untuk Aksi Nyata

Judul Modul                     : Pembuatan Keyakinan Kelas dan Penerapan Segitiga Restitusi sebagai perwujudan budaya positif di SDN Duri Pulo 08 Pagi

Nama Peserta                  : Guru dan Karyawan SDN Duri Pulo 08 Pagi

Latar Belakang

Visi Sekolah Dasar Negeri (SDN) Duri Pulo 08 Pagi adalah menciptakan peserta didik yang beriman, berilmu, dan bermaanfaat. Untuk mewujudkan visi tersebut, diperlukan penerapan budaya positif yang dipahami dan diterapkan secara bersama-sama. Salah satu caranya adalah dengan membiasakan hal-hal positif sehingga menjadi sebuah budaya yang diterima oleh semua pihak. Hal ini termasuk mengurangi penggunaan hukuman yang dapat membuat murid merasa tidak nyaman dan hanya patuh ketika berada di sekolah, serta mengurangi pemberian penghargaan yang hanya bertujuan untuk mengubah perilaku murid tanpa memperhatikan pembentukan karakter yang lebih mendalam.

Dalam menerapkan disiplin positif, kunci utamanya adalah merumuskan keyakinan sekolah dan keyakinan kelas. Peserta didik perlu mengetahui dan memahami keyakinan sekolah agar mereka memiliki motivasi intrinsik untuk melaksanakan disiplin positif. Selain itu, guru dan karyawan sekolah juga perlu menggunakan pendekatan yang dapat melatih kemandirian peserta didik dalam menyelesaikan masalah mereka, salah satunya dengan menerapkan konsep restitusi dengan langkah-langkah sesuai prinsip segitiga restitusi.

Dengan demikian, untuk mencapai visi SDN Duri Pulo 08 Pagi, seluruh pihak di sekolah perlu berkomitmen untuk menerapkan budaya positif. Ini tidak hanya tentang memberikan penghargaan atau hukuman, tetapi juga tentang membentuk karakter dan kemandirian peserta didik dalam mengatasi masalah mereka.

Tujuan

  1. Pemahaman bersama tentang penerapan keyakinan sekolah dan keyakinan kelas sebagai kesepakatan bersama merupakan fondasi utama dalam membangun budaya positif di sekolah.
  2. Penerapan segitiga restitusi dalam penyelesaian masalah murid membantu menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan memperbaiki hubungan antara murid dan pihak terkait.
  3. Menciptakan kenyamanan belajar bagi murid dengan menerapkan posisi kontrol manajer akan membantu memperkuat ikatan antara guru dan murid serta menciptakan lingkungan belajar yang lebih positif.
  4. Membangun komunikasi dua arah dengan murid memungkinkan guru untuk lebih memahami kebutuhan dasar mereka, sehingga dapat memberikan dukungan yang lebih efektif dalam proses pembelajaran.

Tolok Ukur

  1. Setiap kelas memiliki poster yang menampilkan keyakinan kelas sebagai panduan bersama dalam menjalankan budaya positif.
  2. Guru dan karyawan dapat menggunakan segitiga restitusi sebagai pendekatan dalam menyelesaikan masalah yang melibatkan siswa, untuk menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan memperkuat hubungan antara siswa dan sekolah.
  3. Melalui poster keyakinan kelas, siswa dapat lebih memahami nilai-nilai yang dijunjung tinggi di sekolah dan merasa lebih terlibat dalam menciptakan lingkungan belajar yang positif.

Linimasa Tindakan yang akan dilakukan :

  1. Menyusun modul dan mendiseminasikan budaya positif kepada rekan sejawat, baik guru maupun karyawan, untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran akan pentingnya budaya positif dalam lingkungan sekolah.
  2. Melaporkan kepada kepala sekolah terkait program kerja yang ingin dicapai dalam menerapkan budaya positif di sekolah, sehingga mendapatkan dukungan dan arahan yang tepat dari pimpinan sekolah.
  3. Menyusun rencana kerja penerapan keyakinan sekolah dan kelas serta segitiga restitusi, termasuk menyusun indikator ketercapaian penerapan keyakinan sekolah/kelas dan segitiga restitusi, untuk memonitor dan mengevaluasi efektivitas penerapan budaya positif.
  4. Menyediakan poster atau bagan tentang keyakinan kelas untuk memvisualisasikan nilai-nilai yang dijunjung tinggi di sekolah, sehingga memudahkan siswa dan staf untuk memahami dan mengimplementasikan keyakinan tersebut.
  5. Melakukan evaluasi terhadap rencana program kerja yang telah dirancang serta menyusun umpan balik terkait program yang telah dilaksanakan, guna memperbaiki dan meningkatkan efektivitas program budaya positif di sekolah.

Dukungan yang dibutuhkan

  1. Mendapatkan dukungan dari kepala sekolah untuk program budaya positif sangatlah penting, karena kepala sekolah memiliki peran yang kunci dalam menetapkan arah dan memberikan sumber daya yang diperlukan untuk keberhasilan program tersebut.
  2. Keikutsertaan guru dan karyawan dalam menerapkan posisi kontrol dan segitiga restitusi merupakan langkah krusial dalam menciptakan lingkungan belajar yang positif dan inklusif.
  3. Bekerja sama dengan karyawan bagian perlengkapan untuk program kerja, mulai dari desiminasi hingga penerapan di kelas, dapat memastikan bahwa semua aspek pendukung dalam pelaksanaan program budaya positif tersedia dan berjalan dengan lancar.
  4. Membangun komunikasi dengan seluruh warga di sekolah terkait program kerja yang telah disusun adalah langkah penting untuk memastikan bahwa semua pihak terlibat dan memiliki pemahaman yang sama mengenai tujuan dan langkah-langkah program budaya positif.

 

 


Belum ada Komentar untuk "1.4.j. Koneksi Antar Materi - Modul 1.4 Calon Guru Penggerak"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel