Paradoks Informasi
Kebingungan telah menjadi teman akrab dalam kehidupan masyarakat modern. Sumber informasi yang berlimpah, gelombang teknologi, dan kompleksitas masalah saat ini telah menciptakan labirin pengetahuan serta informasi yang sulit untuk dinavigasi. Kebingungan ini bukan hanya sekadar hasil dari informasi yang berlebihan, melainkan juga akibat keterbatasan dalam cara kita memahami dan memproses informasi tersebut.
Pemahaman akan dunia yang semakin kompleks mendorong adaptasi masyarakat terhadap sumber informasi yang terus tumbuh. Keterbatasan dalam menyaring, mengelompokkan, dan memahami informasi menjadi pemicu utama kebingungan yang terjadi.
Keterbatasan tersebut memunculkan tantangan serius di tengah arus informasi yang tak kenal henti sementara masyarakat harus tetap dapat mempertahankan pemahaman yang akurat dan menyeluruh terhadap beragam masalah yang tengah dihadapi.
Konten yang Membingungkan
Tidak jarang, konten yang disajikan oleh media sosial, berita, dan platform online lainnya tidak hanya bertentangan, tetapi juga cenderung membingungkan. Sensasi di atas substansi, opini di atas fakta, dan narasi yang seringkali terdistorsi menjadi tantangan bagi masyarakat yang berusaha memahami dunia di sekitarnya.
Bayangkan dalam konteks berita politik saat ini, di mana beberapa platform media sosial atau kanal berita mungkin menyoroti pernyataan politik dari berbagai kandidat atau partai politik. Salah satu kandidat atau partai mungkin menyuarakan pandangan tentang isu tertentu, seringkali tanpa dukungan data atau bukti yang kuat.
Misalnya, seorang kandidat dalam sebuah diskusi politik mengeluarkan pernyataan tentang suatu kebijakan yang amat populis dan memikat pendengar, tetapi tidak didukung oleh rencana detail atau analisis yang substansial. Ini menciptakan kebingungan di antara pemilih yang mencoba memahami posisi kandidat dan kebijakan yang diusulkan, karena kurangnya informasi faktual dan rinci untuk menilai rencana tersebut apalagi jika kebijakan hanya untuk tukar tambah kepentingan.
Dengan adanya konten semacam ini, yang cenderung menonjolkan sensasi, klaim ekstrim, atau opini tanpa dukungan fakta yang kuat, masyarakat sering kali menghadapi kebingungan dalam membedakan antara informasi yang benar-benar terverifikasi dan klaim yang mengaburkan fakta.
Teknologi dan Ketergantungan
Meskipun teknologi memberikan kemudahan dalam mengakses informasi, ketergantungan yang semakin besar pada teknologi seringkali membuat kita rentan terhadap informasi yang mudah dijangkau tanpa melakukan verifikasi atau pengecekan yang cermat terkait kebenarannya.
Saat menggunakan media sosial, kita sering terpapar pada konten yang disesuaikan dengan minat atau pandangan kita. Algoritma platform tersebut cenderung menampilkan konten yang telah disukai atau dilihat sebelumnya, yang dapat menguatkan keyakinan atau pandangan yang sudah ada, tanpa memberikan sudut pandang alternatif atau informasi yang dapat menyeluruh. Hal ini membuat kecenderungan kita melewatkan informasi yang mungkin bertentangan dengan pandangan yang kita pegang, sehingga tidak terjadi dialektika disana.
Dalam contoh tersebut, ketergantungan pada teknologi seringkali membuat kita rentan terhadap informasi yang mudah dijangkau tanpa melakukan verifikasi atau evaluasi yang cermat. Keterbatasan ini bisa memengaruhi cara kita memproses informasi dan mempersempit sudut pandang kita terhadap suatu topik.
Polarisasi dan ketidakpastian
Polarisasi masyarakat hari ini dapat terlihat dalam berbagai aspek kehidupan, baik di bidang politik, sosial, dan bahkan budaya. Misalnya, dalam ranah politik, terdapat jurang pemisah yang jelas antara pendukung berbagai partai atau kandidat, terlebih diperparah dengan terlalu ramainya gimmick politik dibandingkan gagasan yang ditawarkan sehingga dapat mengakibatkan ketegangan di tengah masyarakat sebab yang ditonjolkan bungkusnya bukan dagingnya.
Di bidang sosial, polarisasi bisa tercermin dalam perbedaan pendapat tentang isu-isu kontroversial seperti hak asasi manusia, lingkungan, atau isu-isu keagamaan yang sering kali memecah belah masyarakat dan menciptakan pemisahan di antara mereka yang memiliki pandangan berbeda.
Selain itu, dalam ranah budaya, polarisasi dapat tercermin dalam perbedaan preferensi atau pandangan tentang hiburan, seni, atau tren terkini. Misalnya, kontroversi di media sosial atau dalam industri hiburan sering kali memicu polarisasi di kalangan penonton atau penggemar, menciptakan perpecahan di antara mereka yang memiliki preferensi yang berbeda.
Semua bentuk polarisasi ini dapat menyebabkan ketidakpastian karena masyarakat merasa sulit untuk mencapai kesepakatan atau arah yang jelas. Hal ini juga seringkali menciptakan ketidakmampuan untuk merespons masalah-masalah yang mendesak secara efektif karena perpecahan dan ketidaksepakatan yang terus meningkat di tengah-tengah masyarakat.
Menyikapi Kebingungan
Hati-hati terhadap asumsi
Kita memerlukan keterampilan kritis dan pemahaman terhadap informasi yang kita terima jangan terlalu mudah percaya terhadap asumsi dan stigma yang orang lain berikan. Masyarakat perlu dilatih untuk tidak hanya menerima informasi, tetapi juga untuk mengevaluasi, memilah, dan menganalisis dengan kritis.
Mari kita lihat fenomena yang menjamur saat ini terkait pinjaman online, layanan pinjaman online menjadi sangat mudah diakses, tetapi juga rentan terhadap penyalahgunaan atau praktik yang merugikan konsumen.
Masyarakat mungkin mudah tergiur oleh iklan atau penawaran pinjaman online yang menjanjikan bunga rendah atau persyaratan yang menguntungkan. Namun, dengan keterampilan kritis yang terlatih dengan tidak berhenti pada asumsi semata, mereka akan lebih waspada terhadap penawaran yang terlalu khayali untuk menjadi kenyataan.
Seseorang yang terlatih dengan keterampilan kritis memiliki kecenderungan untuk tidak mengambil informasi begitu saja. Mereka akan mengusahakan untuk memeriksa, membandingkan, serta meneliti ulasan dan reputasi sebelum akhirnya membuat keputusan. Hal ini menandakan tingkat kehati-hatian yang tinggi dalam menghadapi informasi sebelum mengambil tindakan atau membuat keputusan yang penting.
Keterbukaan Belajar
Keterbukaan belajar tidak sekadar mengacu pada akses informasi semata, tetapi juga pada kapasitas kritis individu untuk menyikapi, menafsirkan, dan mengaplikasikan pengetahuan dalam berbagai konteks. Hal ini menegaskan pentingnya pembelajaran yang berkelanjutan dalam upaya menghadapi laju perubahan informasi yang tak kenal batas.
Lebih jauh lagi, keterbukaan belajar mencakup kemampuan individu untuk berkolaborasi dan berbagi pengetahuan di tengah keragaman pandangan dan pemikiran global. Kolaborasi lintas batas memperkaya perspektif dan memperluas wawasan, memungkinkan integrasi ide-ide inovatif dari berbagai sumber.
Bayangkan seorang ibu rumah tangga hari ini yang ingin belajar tentang parenting memungkinkannya lebih mudah untuk mencari sumber daya seperti youtube, seminar atau diskusi yang membahas pengasuhan anak di zaman digital. Dia juga bisa mencari informasi dari artikel atau buku-buku yang membahas cara terbaik mengintegrasikan teknologi ke dalam pendidikan anak.
Atau, di kasus lain di mana seseorang yang lebih tua merasa kebingungan dengan kemajuan teknologi dan perangkat elektronik modern. Dengan keterbukaan untuk belajar, mereka dapat meminta bantuan dari keluarga atau teman yang lebih mahir dalam hal tersebut sehingga proses adaptasi dapat berjalan lebih mudah.
Peningkatan Literasi Digital
Menurut Devri Suherdi dalam bukunya "Peran Literasi Digital di Masa Pandemik" yang diterbitkan pada tahun 2021, literasi digital adalah kemampuan seseorang untuk memahami, menggunakan, dan beradaptasi dengan teknologi digital. Ini mencakup pengetahuan tentang penggunaan perangkat digital, keterampilan navigasi di internet, serta kemampuan untuk mengakses, mengevaluasi, dan memanfaatkan informasi yang ditemukan secara online.
Literasi digital dapat membantu masyarakat dalam memahami informasi yang beredar di media sosial. Misalnya, seorang individu yang memiliki literasi digital yang baik akan lebih cermat dalam memeriksa sumber informasi, mengevaluasi keaslian gambar atau video yang dibagikan, serta memeriksa apakah sumbernya dapat dipercaya sebelum membagikan informasi tersebut ke publik.
Di era di mana hoaks atau berita palsu dapat menyebar dengan cepat, seseorang dengan literasi digital akan memiliki kemampuan untuk mengenali tanda-tanda berita palsu, seperti judul yang provokatif atau informasi yang tidak terverifikasi secara akurat. Mereka akan terlatih untuk mengecek fakta dan mencari sumber informasi yang benar sebelum percaya atau menyebarkan informasi tersebut ke orang lain.
Dengan peningkatan literasi digital, masyarakat dapat memilah informasi yang valid dan yang tidak, mengidentifikasi manipulasi atau penyebaran informasi palsu, dan mengambil tindakan yang lebih cerdas dalam menghadapi informasi yang mereka terima.
Simpulan
Kesadaran akan kompleksitas informasi serta upaya meningkatkan keterampilan kritis, kesediaan untuk terus belajar, dan peningkatan literasi digital menjadi landasan esensial bagi masyarakat dalam menghadapi tantangan zaman seperti saat ini.
Di tengah derasnya arus informasi, usaha-usaha ini memberikan akses pada penghargaan terhadap ragam perspektif, dan kemampuan adaptif dalam menanggapi perubahan.
Penulis : Fata Azmi
Belum ada Komentar untuk "Paradoks Informasi"
Posting Komentar