Mimbar Terbuka bagi Siapa Saja




Jika dahulu kala seseorang “sulit bersuara”, maka hari ini seseorang sulit untuk “diam”.

“Sulit bersuara” bukan berarti orang-orang di zaman dahulu mengalami kebisuan masal, tapi “sulit bersuara” diartikan sebagai kesulitan untuk menyampaikan pendapat. Kemajuan teknologi yang masih terbelakang dan minimnya sarana penyampaian pendapat merupakan faktor utamanya.

Surat kabar adalah media utama untuk menyampaikan gagasan kepada khalayak ramai. Tetapi surat kabar sendiri tidak bisa diakses oleh siapa saja. Hanya dapat diakses oleh orang-orang tertentu yang memiliki tulisan layak muat.

Menulis di surat kabar harus memiliki struktur tulisan yang baik dan sesuai dengan visi perusahaan surat kabar. Tanpa keduanya, mustahil tulisan seseorang dapat naik cetak.

Padahal jika dicermati, banyak ide yang layak muat, tetapi tidak memiliki struktur tulisan yang baik atau tidak sesuai dengan visi perusahaan surat kabar sehingga tidak naik cetak. Pada akhirnya, “suara” hanya terpendam dalam hati atau tertuang di buku diary hanya untuk dinikmati sendiri.

Di masa sekarang kondisinya berubah 180 derajat. Bersuara dalam khalayak ramai tak perlu lagi perjuangan keras, setiap saat jari dapat menari di atas keyboard komputer memuntahkan ribuan kata, bahkan hanya perlu alat segenggam tangan untuk mengutarakan gagasan. Sehingga kini, setiap orang punya mimbarnya masing-masing untuk mengumbar kata. Tombol post, tweet, publish menjadi corong yang berdengung-dengung setiap waktu.

Saya yakin Anda kenal dengan RA. Kartini. Tapi tahukah Anda kalau buku “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang dianggap cikal bakal gagasan feminisme di Indonesia berasal dari surat-surat RA. Kartini dengan sahabat-sahabat penanya di Eropa?

Jadi kalau kita perhatikan, pada masa itu gagasan besar banyak berasal dari tulisan-tulisan pribadi yang bersifat rahasia (private) dan hanya menjadi konsumsi perseorangan manusia, baru kemudian mewabah di kalangan masyarakat setelah dipublikasi.

Kenyataan di zaman itu sangat berbeda dengan kondisi di zaman sekarang. Sekarang, mimbar terbuka bagi siapa saja sehingga kata dapat diumbar semaunya. Efeknya, sulit membedakan mana kata yang bermakna dan mana kata yang hanya basa basi saja.

Begitupun dengan gagasan yang tersebar di surat kabar. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, syarat terpenting menyampaikan gagasan di surat kabar adalah struktur tulisan yang baik. Kenyataannya, terkadang struktur tulisan yang baik malah menipu pembaca, membuat gagasan terlihat seperti “emas” padahal hanya sepuhan.

“Catatan Harian Anne Frank” merupakan contoh lain tentang tulisan pribadi yang dipublikasi. Kisah pribadinya sebagai seorang Yahudi di bawah penindasan Jerman menjadi buah bibir para ahli sejarah. Tulisan pribadinya tentu tidak pernah ditujukan untuk dimuat di media manapun, tetapi malah menjadi salah satu sumber penelitian sejarah bagi khalayak ramai. Tulisan remaja berusia 13 tahun ini telah dikaji ratusan bahkan ribuan kali dan telah dikutip dalam berbagai karya ilmiah.

Lalu pada hari-hari ini, manakah tulisan-tulisan pribadi yang dapat dijadikan gagasan besar pembaharu masa depan?

Rasa-rasanya, mencari gagasan besar pada hari-hari ini seperti mendulang emas di kali kusam Jakarta, berkali-kali didulang yang timbul hanya sampah dan lumpur berbau busuk.

Sampai kapan ini akan terjadi?

Mungkin sudah saatnya kita belajar diam sejenak untuk meresapi makna yang tersebar di alam semesta sebelum kembali berbicara.


Penulis : Muhammad Doank

Belum ada Komentar untuk "Mimbar Terbuka bagi Siapa Saja"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel