Kosong
“Salahkah aku untuk membunuh cinta ini dengan cara yang tidak wajar yaitu memupuk benih kebencian”
Setibanya
di tepian harapan, sungguh aneh ia berada dalam sebuah pulau yang kosong tidak
berpenghuni, semuanya mediamkannya dan mengutuknya untuk kesekian kalinya, ia
termenung seolah dunia tak ingin memeluknya dengan mesra, semuanya tersasa
gelap tergambar dari kerutan dahinya yang mulai menggariskan keterpurukan.
Dahulu ia
tak seperti ini, dahulu indah sebelum mengenal cinta, namun ketika cinta datang
dan bidikannya meleset 180 derajat ia termenung meratapi nasibnya, apa yang
harus disalahkan atau lagi-lagi kelahiran yang perlu dipersalahkan olehnya.
Ketika
sang surya menyinari bumi, wajahnya sama sekali tak ceria, tak seperti padi
yang terlihat asri di hamparan sawah anugerah illahi, ia masih menutup diri
akan kenyataan yang menghampiri, mungkinkah ia akan tetap seperti ini ditengah
tamparan ombak kehidupan yang sedang menyelimutnya ataukah ia akan seperti
matahari yang dengan gagah berani menyerahkan kekuasaannya pada malam hari, itu
hanya ia yang mengetahui.
Semua
pasti memiliki asal tak terkecuali cinta, cinta katanya berasal dari panca
indra yang kita miliki, baik dari pendengaran, penglihatan atau indra yang
lainnya namun tak bisa dipungkiri hatilah pemeran utama dari proses cinta,
namun ketika yang dicintai tak menyapa apakah teriakan harus dilontarkan agar
ia bisa berada dipelukan.
Sampailah
ia dipenghujung langkahnya, akan tetapi ia masih tetap menghujat cinta ini
dengan jutaan cercaan, berkatalah ia “ tidak adil jika cinta diciptakan bila hanya satu pihak yang
merasakan, tidak ada keindahan kalau cinta hanya sekedar rasa yang tidak bisa
digenggam dengan erat, salahkah aku bila mengatakan cinta itu hanya milik
mereka yang mendapat kelebihan dariNya dan salahkah aku untuk membunuh cinta
ini dengan cara yang tidak wajar yaitu memupuk benih kebencian.”
Belum ada Komentar untuk "Kosong"
Posting Komentar