Bemesraan dengan kritik

 


“Harus ada telinga yang siap untuk saling mendengarkan, hati yang kuat untuk mengakui kesalahan, mulut yang mudah untuk mengatakan maaf”

 Manusia ditakdirkan tumbuh tidak pada semaian yang sama, tidak menyerap pupuk yang sama, juga tidak menerima udara dan asupan yang sama oleh karenanya terjadinya perbedaan pandangan adalah suatu kewajaran dan keniscayaan.


Kita yang hari ini semakin menua hendaknya bersama menyadarkan diri untuk lebih terbuka dengan tidak mudah reaktif serta represif atas setiap dinamika yang terjadi, mari maknai kesadaran tidak hanya sekedar ingat, melampaui itu sadar adalah kesempurnaan dari suatu ingatan dengan dibuktikan oleh tindakan.


Tarik ulur kepentingan tentu tidak akan ada habisnya hilir mudik dalam dialektika zaman, tetapi menjadi ironi jika posko- posko kritik disandera dengan dalih akan menimbulkan kekacauan, apakah melulu kekuasaan harus diberi tepuk tangan dan dibanjiri sanjungan tanpa menoleh realitas yang terjadi sebenarnya ataukah ada yang lupa bahwa sebelum mahligai kekuasaan ini berdiri di atas segala kejayaan, dahulupun sama pernah dibawah melata, merangkak dan berteriak.


Kebutuhan akan kehadiran ruang dialog yang sehat menjadi sebuah idaman yang dirindukan dimana kritik, masukan juga saran dijadikan pelajaran dan renungan untuk bergerak ke arah yang lebih baik bukan dianggap sebagai ancaman yang melahirkan dendam dan akan melulu berbalas dendam.


Perlu dipertegas kembali bahwa harus ada telinga yang siap untuk saling mendengarkan, hati yang kuat untuk mengakui kesalahan, mulut yang mudah untuk mengatakan maaf dan tindakan nyata yang tak hanya slogan dan kata mutiara, perbaikan harus disegerakan agar janji tak sebatas janji.

Belum ada Komentar untuk "Bemesraan dengan kritik"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel