ARUS YANG TAK SURUT
Kembali hari ini Monyi turun aksi ke jalan, alasannya masih sama seperti kemarin ikut seniornya Bang Mamet yang selalu lantang menyuarakan anti penindasan, sebenarnya Monyi tidak terlalu paham pada awalnya mengapa perlu teriakan di jalan toh suaranya akan terpental oleh pagar kekuasaan namun Bang Mamet selaku senior selalu berdalih dengan gaya khasnya "Mendiamkan sebuah kesalahan adalah kebodohan dan kita dididik untuk menghilangkannya".
Hari ini Monyi masih seperti biasa melihat Bang Mamet bersuara lantang diatas losbak dengan soundsystem menggelegarnya, Ia menyampaikan dengan lugasnya "Arus perjuangan ini tidak akan pernah surut selama disana kuping-kuping masih tuli mendengar jeritan rakyat, selama mata hati belum dapat merasakan kesusahan rakyat kami akan tetap bersuara mencanangkan kebenaran".
Terpukau Monyi melihatnya tetapi tetap saja dia belum sepenuhnya mengerti mengapa harus jalur ini yang dilalui, sambil berpanas ria dia melihat seorang demonstran dengan potongan kardus ditangannya tertulis dengan jelas "Kami begini karena kalian begitu Dunggu", Terlintas dalam pikiran Monyi makin banyak yang kesal sepertinya dengan situasi saat ini sampai tidak hanya suara yang diteriakan tulisanpun berseliweran dimana-mana, sepertinya memang ada yang salah.
Dari seberang jalan Bang Mamet semakin lantang menyuarakan suaranya, Syair Peringatan Wiji Thukul di bacakan olehnya sampai pada baris akhir puisinya "Apabila usul ditolak tanpa ditimbang suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan dituduh subversif dan mengganggu keamanan maka hanya ada satu kata: Lawan!." Tiba-tiba Tembakan Gas air mata sudah membanjiri massa aksi karena kondisi sudah mulai tak terkendali.
Situasi yang semakin chaos membuat massa aksi berlarian tanpa tujuan, Monyi berlari mengikuti jejak langkah para demonstran, dengan mata yang sulit melihat dia paksakan berlari mencari air, syukur dia menemukan sebotol air mineral di sebelah penjual ketoprak, langsung dibasuh mukanya yang kian perih melihat.
Dari atas losbak Bang Mamet masih saja terus berorasi walaupun losbaknya sudah berpindah tempat, teriakannya makin kencang "Kami tidak takut gas air mata, kami lebih takut keadilan hilang di tangan penguasa" sembari terus berorasi, disisi lain Monyi menggelengkan kepalanya heran dengan kelakuan Bang Mamet yang tidak ada gentar nyalinya, "Apa yang ada di otak itu orang, sudah dipukul mundur masih saja nggak berhenti bicara" tandasnya.
Dari jauh Masrur teman Monyi berteriak "Nyi cepat lari udah banyak yang ditangkepin" dengan muka bingung Monyi mengartikan omongan Masrur, "loh kok malah pada ditangkep kan katanya mengeluarkan pendapat sah-sah aja di alam demokrasi, ngawur nih" sembari berlari menghampiri Masrur, otak Monyi masih terus berpikir tentang apa yang terjadi.
Lari mereka semakin kencang sampai mereka menjauh dari kerumunan, di trotoar mereka berdua merebahkan badannya, Masrur berucap "Parah bener nih udah kaya zaman kompeni yang protes dilibas", tertawa Monyi mendengar apa yang diucapkan Masrur, "Kompeni ngelibas karena mereka penjajah rur, nah ini sama-sama satu bangsa, satu tanah air masih aja dikejar-kejar, warisan penjajah ternyata nggak ada abisnya, nyusahin" saut Monyi.
Saat mereka sedang duduk bersantai sejenak, tiba-tiba terdengar suara letusan senjata ke udara, semakin riuh suara derap larian para massa aksi menghampiri posisi mereka, tanpa pikir panjang mereka ikut berlari walau tidak tahu ada apalagi dengan kondisi yang terjadi.
Asap gumpalan ban yang dibakar semakin membumbung tinggi, situasi yang semakin sore membuat senja berkabut dan semakin mencekam.
Mereka berlari naik ke atas jembatan penyeberangan dari atas mereka melihat api dan asap menyatu, pandangan mencekam, ada demonstran yang dipukul, ditarik dan diseret tidak ada tawa dihadapan mereka.
Demokrasi yang di agung agungkan dikubur dengan kejadian senja itu, lebih terkejutnya Monyi mendapat kabar dari gawainya Bang Mamet diciduk, Monyi mulai tahu sesulit itu berpendapat di negeri sendiri, kritik yang disampaikan untuk mengigatkan dianggap ancaman, betapa buntu cara pandang penguasa.
Dengan mengangkat tangan kirinya Masrur dengan nafas ngosngosannya berteriak "Panjang Umur Perjuangan" kalimat yang diulang-ulangnya, untuk menyemangati dirinya dan orang-orang yang ada di bawahnya.
Monyi yang dari siang hanya menjadi penonton melihat orang-orang berteriak kali ini dengan toa yang tidak sengaja dia temukan disampingnya dia nyalakan, "Kehadiran kami disini adalah bentuk sumbangsih kami untuk bangsa ini, kami berhak mengingatkan jika ada kekeliruan ketimbang mengiyakan dengan sukarela apa yang merugikan masa depan bangsa seperti yang kalian pertontontkan, jangan anggap demonstrasi ini akan surut selama gaya-gaya repsesif selalu menjadi senjata dan ruang dialog dan bersuara disumbat, satu didiamkan seribu muncul ke permukaan.
Akhirnya Monyi sadar bahwa perjuangan Bang Mamet yang ia lihat bukan tanpa alasan, Ia berjuang seperti itu karena ada yang pantas diperjuangkan yaitu kesejahteraan yang kian timpang, keadilan yang dikebiri, serta gagapnya penguasa menghadapi perbedaan.
Panjang Umur Perjuangan, Setidaknya kami sempat berjuang
Belum ada Komentar untuk "ARUS YANG TAK SURUT"
Posting Komentar