HOS Tjokroaminoto, Mentor Terbaik Yang Pernah Ada di Indonesia
Dalam sebuah kesempatan di Gang Peneleh VII
Surabaya, rumah Hadji Oemar Said Tjokroaminoto di Gang Peneleh VII, Sukarno
bertanya “Berapa banyak yang diambil Belanda dari Indonesia?” Tjokro menjawab,
“De Vereenigde Oost-Indische Campagnie menyedot atau mencuri kira-kira 1.800
gulden dari tanah kita setiap tahun untuk memberi makan Den Haag.” Lanjut
Sukarno muda “Apa yang tinggal dinegeri kita?” “Rakyat tani kita yang
mencucurkan keringat mati kelaparan dengan makanan segobang sehari,”sahut
Alimin. Musso juga bersuara: “Kita menjadi bangsa kuli dan menjadi kuli di
antara bangsa-bangsa.”
Diskusi tersebut di atas dengan bangga dikisahkan
Sukarno kepada Cindy Adams yang kemudian dimuat dalam buku Bung Karno
Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Tentang suasana makan malam yang sering
berulang dengan hangat di rumah bapak kos. Tak hanya makan malam, mereka juga saling
sharing pengetahuan antara mereka
yang beragam.
Keragaman sebagai sebuah fitrah yang memiliki dua
sisi, baik dan buruk, menjadi dominan baik ketika ia diperlakukan baik. Seperti
itulah di rumah HOS Tjokroaminoto, selain untuknya sekeluarga (Soeharsikin,
istrinya dan empat anak - Oetari, Oetarjo Anwar, Harsono, dan Sujud Ahmad),
juga mungkin menjadi rumah kedua bagi Sukarno, Alimin, Musso, Soeharman
Kartowisastro, Semaoen, dan lainnya. Tak sekedar rumah sebagai tempat
tinggal, rumah Tjokroaminoto juga sebagai “Rumah Ideologi dan Dialog” kata
Anhar Gonggong (sejarawan UI).
Rumah Tjokroaminoto merupakan rumah
ideologi-dialogis, tempat bertemunya tokoh-tokoh yang mempunyai ideologi yang
berbeda. Di rumah itu, berkunjung Semaoen, Alimin, dan Tan Malaka yang
berideologi Marxis-Komunis, Sukarno yang kemudian hari menjadi pemimpin utama
partai yang berideologi nasionalis, dan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo
sebagai pendiri Darul Islam/Negara Islam Indonesia lanjut Anhar Gonggong.
Pencipta Standar Pergerakan
Tjokroaminoto, lahir pada tanggal 16 Agustus 1882
di Jawa Timur. Lingkungan keluarga priyayi Madiun tak membuatnya “nyaman”.
Merasa tak “nyaman” dengan kemapanan keluarga bangsawan, kemudian ia meretas
jalan kesetaraan. Segala atribut feodalisme seperti gelar raden dan laku dodok
(berjalan jongkok di depan bangsawan) ia tanggalkan demi sebuah “kemerdekaan
diri” dan kesetaraan bangsanya di mata bangsa lain.
Pidatonya di Bandung pada tahun 1916, dengan
lantang Tjokro mengatakan “Tidaklah wajar untuk melihat Indonesia sebagai sapi
perahan yang diberi makan hanya disebabkan oleh susunya. Tidaklah pada
tempatnya untuk menganggap negeri ini sebagai sebuah tempat di mana orang
datang dengan maksud mengambil hasilnya, dan pada saat ini tidaklah lagi dapat
dipertanggungjawabkan bahwa penduduknya, terutama penduduk pribumi tidak
mempunyai hak untuk berpartisipasi di dalam masalah-masalah politik yang
menyangkut nasibnya sendiri….”
Semangat pemberontakan dan pembebasan nampak jelas
pada pidato tersebut di atas. Meski di sisi yang lain Tjokroaminoto sangat
fleksibel dengan tetap bergerak di bawah perlindungan pemerintah Belanda. Namun
sikap tersebut di ambil sebagai bagian dari strategi agar Sarekat Islam
(organisasi yang dipimpinnya setelah Samanhoedi) mampu bertahan dan menjadi
besar.
Sarekat Islam-pun akhirnya mampu memberi semangat
kebangsaan bagi masyarakat luas. Berbeda dengan Boedi Oetomo yang elitis,
Sarekat Islam mampu membuat rakyat jelata merasakan pengalaman pertama ketika
hierarki Jawa-Belanda dihilangkan. Para pemimpin Sarekat Islam duduk sama rata
dengan pejabat Belanda, kemudian kesempatan itu dipakai untuk menjelaskan bahwa
kaum pribumi bukan lagi “seperempat manusia” (julukan kaum pribumi oleh
Belanda), tapi sama-sama manusia utuh yang juga memiliki hak yang sama.
Sarekat Islam menjadi besar justru bukan dari
pendirinya Samandoedi, tapi dari Tjokroaminoto. Kata Anhar Gonggong, Tjokro
malah sempat di anggap Ratu Adil oleh sejumlah kalangan. Dia diterima
seakan-akan sebagai penyelamat dalam keadaan kritis.
Program-program Sarekat Islam memang sangat berpihak
pada rakyat. Di bawah panji SI, Tjokro mendesain penghapusan kerja paksa dan
sistem izin bepergian yang cenderung membatasi gerak-gerik orang. Ia juga
mendorong penghapusan peraturan yang mendiskriminasi penerimaan murid di
sekolah dan mendorong agar wajib belajar untuk semua penduduk sampai usia
belasan tahun. Bahkan Tjokroaminoto menggagas adanya program beasiswa keluar
negeri dan mendesak penghapusan peraturan yang menghambat penyebaran Islam.
Keyakinan tentang Islam yang memiliki banyak
kandungan nilai sosialisme yang mengkonstruk lahirnya ide-ide memperjuangkan
kepentingan rakyat. Menurut Bonnie Triyana (Sejarawan), Tjokroaminoto lewat
bukunya Islam dan Sosialisme ingin mengatakan sosialisme bukan milik
kaum komunis saja. Sosialisme yang wajib dituntut dan dilakukan oleh umat
Islam, bukan sosialisme yang lain melainkan sosialisme yang berdasar kepada
asas-asas Islam belaka.
Takashi Shiraishi, PenulisZaman Bergerak:
Radikalisme Rakyat Jawa 1912-1926, dalam sebuah wawancara di Majalah Tempo
edisi khusus Tjokroaminoto : Guru Para Pendiri Bangsa mengatakan “Tjokroaminoto
adalah generasi pertama pemimpin pergerakan. Figurnya penting karena dialah
yang menciptakan standar bagaimana seharusnya seorang pemimpin pergerakan.
Tjokro tidak sekedar piawai mengupas gagasan lewat tulisan, tapi juga mampu
sebagai “singa podium”. Tentang “singa podium”, darinya Sukarno belajar
menghipnotis pendengarnya.
Dengan
Sarekat Islam lanjut Takashi Shiraishi, Tjokroaminoto menciptakan standar
pergerakan dengan mengekspresikan rasa kesadaran berbangsa dengan mempraktekkan
politik gaya baru waktu itu. Penerbitan surat kabar, unjuk rasa, pemogokan,
serikat politik, dan partai politik adalah segelintir aktivitas yang
dilakoninya. Hasil akhir dari ekspresi politik kontemporer di zaman itu,
kemudian berakhir sebagai sebuah negara bernama Indonesia.
Seumber :http://www.ariefrosyidhasan.com/2014/07/hos-tjokroaminoto-mentor-para-pendiri.html
Belum ada Komentar untuk "HOS Tjokroaminoto, Mentor Terbaik Yang Pernah Ada di Indonesia"
Posting Komentar